PAJAKKU SAYANG PAJAKKU MALANG
Dalam menjalankan aktivitas, suatu negara memerlukan biaya. Secara garis besar, sumber pembiayaan negara diperoleh dari tiga hal, yaitu pajak, kekayaan alam, dan pinjaman luar negeri. Banyak ekonom yang percaya bahwa pembiayaan yang paling mudah dan murah adalah pajak.
Seperti yang kita ketahui, pajak merupakan urat nadi bangsa untuk memutar roda perekonomian di setiap negara. Termasuk Indonesia. Sayangnya, di negara kita masih ada masalah pajak yang sukar ditetaskan. Realita tersebut timbul karena adanya ketidaksiniergisan antara wajib pajak dan petugas perpajakan.
Sebagaimana yang terjadi pada kasus penggelapan dulu yang dilakukan GT dan DW. Berbagai cara telah mereka lakukan, salah satunya dengan melakukan penawaran saat wajib pajak akan membayar pajak. Misalnya, si X kerja di kantor pajak kemudian ada wajib pajak yang ingin membayar pajak tahunan sebesar Rp 200.000.000,00 pastinya pajak sebesar itu sangat membebani wajib pajak, nah disinilah praktek korupsi itu terjadi. Si X menawarkan wajib pajak yang bisa membuat wajib pajak hanya membayar Rp 150.000.000,00, tapi dengan syarat Rp 75.000.000,00 untuk pajak dan Rp 75.000.000,00-nya lagi untuk si X. Tanpa pikir panjang wajib pajak secara otomatis akan lebih memilih membayar Rp 150.000.000,00 karena lebih ringan daripada membayar Rp 200.000.000,00. Bila hal tersebut masih berkerak, akan dipastikan seperti bom atom yang sewaktu – waktu akan memuntahkan isinya. Hal itulah yang dapat meruntuhkan kepercayaan dan kesadaran wajib pajak akan esensi pajak.
Secara maksimal pajak tidak dapat membiayai perekonomian secara utuh. Disebabkan banyaknya oknum pajak yang tidak memiliki hati nurani untuk berpikir demi kepentingan bangsa dan negara, melainkan hanya mementingkan kepentingan pribadi dengan memperkaya diri sendiri. Pajak yang seharusnya dipergunakan untuk membangun kesejahteraan bangsa telah di salah gunakan oleh mereka. Perbuatan seperti itulah yang akan merugikan dan mengkerdilkan moralitas bangsa. Karena itu perlu adanya revolusi birokrasi secara menyeluruh, tidak hanya dalam sistem perpajakan. Namun semua sektor yang terkait dalam pembangunan suatu negara. Jangan sampai prisip pajak “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” berbalik 360° menjadi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk penguasa”.
Namun demikian, realita yang terjadi di lapangan sistem yang ada saat ini belum sempurna dan belum memadai. Seharusnya negara kita mempunyai sistem perpajakan yang baik atau bahkan mengadopsi dari Negara lain. Mekanisme perpajakan yang di anut Indonesia saat ini didasarkan pada self assessment system. Self assessment adalah suatu sistem yang menentukan bahwa rakyat yang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak secara otomatis harus menghitung dan menetapkan sendiri berapa besar utang pajaknya, menyetorkannya ke kas negara dan mempertanggung jawabkan perhitungan, penetapan, dan pembayaran pajak tersebut. Kemudian timbal balik manfaat kepada masyarakat hendaknya dapat dirasakan secara konkret. Demikian pula halnya dengan pengoptimalan fungsi pajak yang sebenarnya, yaitu :
1. Fungsi Budgetair ( anggaran )
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran pengeluarannya.
2. Fungsi Regulerend ( mengatur )
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Guna menciptakan hal demikian, tak ada salahnya bila kita dapat mengadobsi sistem perpajakan di negara lainnya, semisal Malaysia. Negara yang masih serumpun dengan negara kita yaitu Malaysia. Pajak Malaysia secara garis besar undang – undang perpajakan Malaysia cukup lunak dan bersahabat baik dengan wajib pajak lokal maupun investor asing. Malaysia tidak mengenal pajak atas kekayaan, pajak atas tanah, pajak atas hadiah, dan pajak daerah. Semua kondisi tersebut memang sengaja dibuat untuk menciptakan sistem perpajakan yang mudah dan sederhana dalam administrasi dan pelaksanaannya. Suatu hal yang menarik di Malaysia, proses pembayaran pajak sudah serba elektronik yang merupakan manifestasi dari program e-government. Ini bisa diterapkan karena sistem administrasi penduduk yang bagus, yaitu nomor induk penduduk tinggal. Nomor induk penduduk tersebut mempunyai peran vital yang digunakan sebagai identity number untuk berbagai sistem administrasi warga negara seperti kartu tanda penduduk, pendidikan, pemilihan umum, passport, SIM, dan pajak.
Dalam sistem PPh Malaysia ( disebut cukai pendapatan ) terdapat perbedaan yang begitu mencolok dengan PPh Indonesia. Di Malaysia, pajak dapat dikreditkan dengan berbagai macam pengurangan pajak yang sebenarnya bukan merupakan pajak, seperti :
1. Seluruh nilai yang dibayarkan untuk zakat, fitrah, dan kewajiban agama lainnya.
2. Jumlah tertentu untuk pembelian komputer pribadi.
3. Biaya perawatan penyakit serius dan general check-up.
4. Jumlah tertentu untuk pembelian alat olahraga.
5. Tambahan biaya untuk individu cacat.
6. Jumlah tertentu untuk asuransi pendidikan anak, biaya pelajaran, biaya pembelian buku, jurnal, dan majalah.
7. Jumlah tertentu yang dibayarkan kepada pemerintah dalam rangka pengelolaan surat tenaga kerja dan izin kunjungan tenaga kerja asing, dan lain – lain.
Hal ini berbeda dengan ketentuan di Indonesia yang mengatur bahwa pajak hanya dapat dikreditkan dengan total pajak yang telah dibayarkan pada tahun berjalan. Dengan adanya berbagai pengurangan ini, terlihat bahwa pemerintah Malaysia sangat memperhatikan kebutuhan penduduknya dengan jelas. Pemerintah Malaysia memahami betul bahwa pendidikan – pendidikan anak, pembelian komputer pribadi, pembelian buku, bahkan jurnal dan majalah. Malaysia masih termasuk ASEAN, coba bila kita lihat sistem perpajakan dari benua lain, misalnya Australia. Sistem perpajakan di negara Australia, ditangani oleh dua departemen atau memiliki dua bagian fungsi yang berbeda yakni untuk fungsi kebijakan mengenai pajak ditangani oleh The Treasury dan fungsi administrasi ditangani oleh Australian Tax Office ( ATO ). Kebijakan perpajakan di Australian senantiasa dipantau dan di evaluasi setiap tahunnya oleh pemerintah. Sehingga, pemerintah Australia selalu mengamandemen UU perpajakannya setiap tahun, dengan demikian jika terjadi permasalahan dalam penerapannya dapat diselesaikan dan tidak berlarut-larut. Pemerintah Australia sudah menerpakan self assessment system dalam pemungutan pajak dan pemerintah hanya sekedar mengawasi saja. Dikarenakan sistem yang sudah dibangun secara teratur, maka wajib pajak kecil kemungkinannya untuk tidak “ngemplang” pajak atau tidak membayar pajak. Bila kita lihat lebih jauh ke Amerika. Negara Amerika membebankan pajak progresif pada pajak pendapatan individu, kemitraan, perusahaan, percaya, perkebunan. Sedangkan sistem UU perpajakan yang berlaku di Indonesia masih menganut tahun lalu, sehingga jika ada suatu permasalahan tentang pajak sulit untuk di tuntaskan. Sehingga mengakibatkan penduduk malas untuk membayar pajak. Ukuran yang dijadikan indaktor penilaian kinerja penerimaan pajak kita adalah tax buoyancy, yang merupakan perbandingan presentase perubahan penerimaan pajak terhadap presentase perubahan pendapatan nasional. Dengan kata lain, buoyancy adalah perubahan penerimaan pajak apabila PDB berubah 1%. Perbandingan antara negara menunjukan bahwa struktur pajak Indonesia memiliki penerimaan pajak (tax buoyancy yang rendah) dibandingkan beberapa negara lain.
Setelah melihat banyak perbedaan sistem perpajakan di setiap negara, mari kita adobsi disesuaikan dengan kondisi negara ini. Bahkan akan mempererat hubungan bilateral antar negara.
Dengan begitu muncul apatisme perpajakan dalam masyarakat dapat dicegah. Di lain pihak, masyarakat khususnya pembayaran pajak aktif perlu mengambil pilihan untuk terlibat aktif dalam perumusan RUU perpajakan, agar RUU perpajakan dan sistem perpajakan menjadi lebih baik, lebih memberikan harapan bagi masa depan bangsa Indonesia. Sebab pajak merupakan aspek yang krusial bagi pembangunan Indonesia yang lebih berkeadilan dan demokratis di masa depan. Oleh karena itu guna menyongsong masa depan perpajakan yang memenuhi harapan semua pihak yang dalam hal ini pemerintah dan masyarakat, maka tugas pemerintah ke depan dalam perpajakan adalah mengkondisikan agar partisipasi perpajakan masyarakat meningkat. Partisipasi akan muncul ketika peluang untuk itu tersedia dengan baik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan perpajakan.
DAFTAR PUSTAKA
Subiantoro, Andrey. Mengapa Kita Harus Bayar Pajak ?. Di unduh 16 April 2010. www.wordpress.com.
‘-----------, Repelita : Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 1998.
Widia, I Nyoman. Perpajakan Internasional. Di unduh 19 September 2007. www.wordpress.com.
Ikatan Mahasiswa Pajak-STAN. Mengintip Sistem Perpajakan Malaysia. Di unduh 19 April 2012. www.pajak-stan.com.
‘-----------, Perbandingan Sistem Perpajakan di Indonesia. Di unduh 15 Oktober 2011. http://kisahceritaku.blogspot.com.
Dr. Mardiasmo, MBA, Ak. 2002. Perpajakan (Edisi Revisi Tahun 2002). Yogyakarta: ANDI.